Menjadi
pengajar muda sungguh sangat beruntung karena bisa belajar banyak dari kearifan
warga lokal di daerah yang masih menjaga prinsip-prinsip yang mereka pegang
teguh. Selain kearifan lokal mulai dari bahasa, tata cara hidup, hubungan erat
keluarga, adat istiadat dan yang paling menarik adalah seni budaya.
Meskipun
saya bukan orang berlatar belakang seni tetapi saya sangat senang (ingat, hanya senang) melihat seni budaya
Indonesia, karena banyak ragamnya dan unik. Belum lagi ditambah dengan
aroma-aroma kemistisan atau adat yang kuat dari setiap pertunjukan seni budaya
tersebut.
Beruntungnya
saya menjadi pengajar muda di Kabupaten Maluku Tenggara Barat karena di
Kabupaten ini masih banyak Desa-desa yang masih memegang teguh adat istiadat
dan kebudayaan daerahnya (meskipun
belakangan saya mendapat informasi dari salah satu tetua adat, kadar
kemistisannya sudah mulai pudar) tetapi setidaknya proses kebudayaan ini
masih tetap berjalan dan dirawat untuk tetap melestarikan salah satu kekayaan
Nusantara.
Disuatu
momen ketika saya pulang ke kampung halaman tempat saya belajar dan mengajar (setelah sekian lama, terkatung-katung di
Kota karena tidak ada kapal menuju Desa) saya beruntung (kembali) karena satu hari setelah saya
di Desa ada informasi bahwa Desa tetangga yaitu Desa Wadankao akan mengunjungi Desa
kami yaitu Desa Adodo Molu. Menurut cerita para tetua adat Desa kami memang
erat hubungannya sebagai adek dan kakak bahkan sampai ada prasasti bukti dari
keeratan hubungan adik dan kakak yaitu prasasti “batu adik kakak” batu ini menunjukan bahwa ada tiga Desa yang
memiliki hubungan erat sebagai adik dan kakak, Desa Wadankao, Desa Adodo Molu
dan Desa Wulmasa, di kecamatan Molumaru.
Kunjungan
dari Desa Wadankao adalah untuk mempererat hubungan saudara agar tidak
terlupakan, adat berkunjung ini memang menjadi acara rutin tahunan sebagai
wujud silaturahmi saudara kandung kepada saudara lainnya (amat penting bukan makna dari kegiatan adat ini, mempererat tali
silaturahmi dan menguatkan hubungan persaudaraan). Entah kenapa saya
semakin senang bisa menyaksikan tradisi yang amat kaya ini.
Kunjungan
persaudaraan ini dikemas menjadi unik tidak semata-mata kunjungan karena tamu (Desa
Wadankao) harus mau mengikuti permintaan dari tuan rumah, misalnya jalur
kedatangan sudah ditentukan dengan simbol bendera dan kain tenun Tanimbar pada
gerbang utama Desa. Selain itu Desa Wadankao sebagai tamu akan memberikan
persembahan tarian adat yang terkenal masih mistis itu yaitu tarian Tnabar Ila’a yang akan di tarikan oleh
para laki-laki Desa Wadankao. Dengan sebelumnya wajah dan tubuh mereka di
buburi oleh oli sehingga seperti pasukan perang (tetapi sayangnya mereka tidak menggunakan pakaian adat). Aroma
kemistisan sangat tersa ketika tarian dimulai, pada proses jalan menuju tempat yang
ditentukan setiap orang dilarang untuk melewat atau memotong jalan gerombolan
penari, karena bila kita melewat atau memotong jalan tersebut maka akan
dipastikan kita akan hilang pergi ke hutan dan tidak akan kembali atau akan
meninggal seketika (menurut sumber yang
dapat dipercaya; warga dan Tetua Adat).
Sebagai
kompensasi setelah tarian dan kunjungan selaesai, kami (Desa Adodo Molu) harus
menjamu baik warga Desa Wadankao sebagai saudara yang berkunjung, maka Desa
Adodo harus memberikan tumpangan menginap dan makan mereka hingga esok hari
terjamin (ah, mesra bukan persaudaraannya).
Mungkin hal seperti ini akan sulit kita temukan di kota-kota (kalian pasti tahu alasannya kan). Semoga
adat dan budaya ini masih terus dijalankan dan akan menjadi suguhan yang
menarik untuk orang-orang yang sudah mulai luntur wawasan ke-Indonesiannya
seperti saya.
“Sekali lagi saya amat beruntung
bisa menjadi bagian program pembelajaran yang amat berharga ini sebagai upaya
peningkatan pemahaman akar rumput agar kita bisa lebih bangga menjadi
Indonesia”
Jarot
Dwi Handoko
Pengajar
Muda Angkatan X Maluku Tenggara Barat
No comments:
Post a Comment